Rabu, 18 November 2015

Kenapa Yesus disebut Tuhan? dilihat dari perspektif Injil



PENDAHULUAN
            Kristologi atau ajaran tentang pribadi Yesus Kristus merupakan tema yang sangat mendasar dan penting dalam kehidupan kekristenan. Hal itu memungkinkan karena iman Kristen di bangun atas dasar iman dan kepercayaan kepada Yesus sebagai Tuhan. Hal yang demikian juga dinyatakan oleh beberapa para teolog bahwa teologi yang paling awal hampir seluruhnya adalah mengenai Kristologi.
            Pada abad pertama hingga saat ini tidak jarang kita temukan yang meragukan dan bahkan menyangkali bahwa Yesus adalah Tuhan. Kenyataan yang demikian merupakan tantangan tersendiri dalam kekristenan juga kita sebagai orang percaya dalam mempertanggungjawabkan iman dan kepercayaan kepada Yesus Kristus adalah Tuhan. Pertanggung jawaban tentu tidak lepas dari Alkitab yang adalah Firman Allah sebagai wahyu khusus yang dipercaya oleh umat percaya (Kristen).
            Dengan demikian, maka telah menimbulkan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan keunikan? Apa dan bagaimana Konsep keunikan Tuhan yang dipercaya bangsa Israel/PL? Serta apa dan bagaimana konsep tentang keunikan Yesus sebagai Tuhan? Melalui paper ini, penulis akan menjabarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk meyakinkan iman dan keparcayaan kita bahwa Yesus adalah Tuhan bukan manusia biasa. 
           
PENGERTIAN
A.    KEUNIKAN
Sebelum lebih lanjut membahas tentang keunikan Yesus sebagai Tuhan maka sebelumnya alangkah baiknya memahami arti dari keunikan itu sendiri. Keunikan berasal dari kata dasar “Unik” yang berarti lain dari pada yang lain, tidak ada persamaan dengan yang lain sehingga keunikan bisa berarti kekhususan, keistimewaan, dan keunggulan.[1] Dari pengertian yang mendasar tersebut maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keunikan Yesus Kristus ialah kekhususan serta keunggulan Yesus Kristus. Keunikan yang dimaksud disini bukanlah nilai keunikan yang diberikan oleh orang Kristen kepada-Nya melainkan melainkan keunikan tersebut Yesus sendiri menghakikat di dalam diri-Nya. Dengan demikan, keunikan Yesus sebagai Tuhan disangkal atau pun tidak oleh manusia di dunia maka status atau identitas-Nya tetap kepada-Nya.
B.     KONSEP TUHAN
1.      Perjanjian Lama
Jika diperhatikan dalam sejarah bangsa Israel dalam Perjanjian Lama maka disana akan mendapatkan asal usul dan arti dari konsep tentang TUHAN. Mengapa demikian? Karena nama-nama tersebut mengandung pernyataan dan diri Allah sendiri kepada umat Israel. Menurut JB. Banawiratma mengatakan bahwa konsep Allah dalam Perjanjian Lama dan agama Yahudi adalah suatu konsep dinamis.[2] Allah Israel bukanlah suatu “dues otiosus”, melainkan Allah yang hidup dan bekerja. Sehingga Allah yang dinamis dan transenden itulah yang menjadi sasaran iman kepercayaan serta sasaran pengharapan, andalan umat Israel/Yahudi yang percaya. Kepercayaan sepenuhnya kepada Allah pada Perjanjian Lama didasari dengan tindakan Allah kepada bangsa Israel membawa keluar dari perbudakan (Mesir) menuju tanah perjanjian (Kanaan). 
a.       Yehovah (Kel 3:14; AKU adalah AKU). Nama ini adalah nama Allah yang asli dan Tunggal dan Ontologis tentunya dalam hubungannya secara khusus dengan umat-Nya Israel dan beberapa para teolog mengatakan bahwa hal itu bersifat pribadi, Kudus, Perjanjian, dan Keselamatan. Hal itu yang diterjemahkan dalam LAI sebagai TUHAN.
b.      Adonai. Sebutan ini merupakan sebutan bagi nama YHWH yang kudus (Kel. 4:10-14; Yos 7:8-11) yang artinya sama yaitu TUHAN.
c.       Elohim artinya Allah yang Maha Kuasa. Hal itu terdapat dalam Kej. 1:1; 26:27; 3:5; 31:13; Ul. 5:9; Maz. 5:78, 6:15, 100:3.
2.      Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru secara khusus penggunaan nama Tuhan juga berkaitan dengan sebutan yang mencirikan situasi keadaan atau pekerjaan dari diri-Nya sendiri, seperti halnya dengan Nama “Tuhan” (kurios). Nama “Tuhan” yang dipakai untuk menyebut Allah, yang dapat diidentikan dengan, sebagai berikut[3]
a.       Sebagai nama yang setara dengan Yehovah (PL).
b.      Sebagai nama pengganti nama Adonai (PL), serta
c.       Sebagai gelar penghormatan yang dinaikkan oleh manusia kepada Allah (mengakui kemahakuasaan Allah), Yos 3:11; Mzm 97:5.
Perlu dipahami bahwa pemberian gelar kepada Yesus selama berada di dunia ini selalu berkaitan dengan keadaan dan pekerjaan yang Dia lakukan, sebagaimana tertera kitab-kitab PB. Misalnya:
a.      Kurios: artinya Tuhan yang identik dengan Allah
b.      Khristos: Kristus, Messiah “Yang diurapi” (Mat. 16:13; Yoh 1:14, 20:31; Kis 2:36; Rm. 6:23; 2 Pet 1:11.
c.       Yeshua: Yesus TUHAN adalah keselamatan (Yoh. 1:14, Kis. 2:36).
Monoteisme dinamis Israel diambil alih oleh umat Kristen semula. Hal itu diindikasikan atas pengalaman dengan Yesus Kristus dari kelahiran-Nya hingga kebangkitan-Nya. Dengan demikian, atas refleksi dan pengalaman umat Kristen tersebut maka mereka memodifikasikan monoteisme dinamis itu yaitu dengan cara pandang bahwa kedudukan dan peranan Yesus Kristus mesti dipasang dalam kerajaan monoteisme itu.
Konsep baru tentang keselamatan dalam Perjanjian Baru bukan lagi mengantar umat Israel keluar dari Mesir (pemahaman Yahudi) melainkan Allah membangkitakan Yesus dari antara orang mati dan meninggikan-Nya menjadi Tuhan dan Kristus.[4] Kemudian memiliki konsep bahwa peninggikan Yesus Allah sebenarnya sudah mulai “meraja” dan secara mutlak, tak terbatalkan “berkuasa” atas umat manusia demi keselamatannya. Yesus yang dibangkitakan menjadi “kuasa” Allah, satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia tanpa memisahkan melainkan mempersatukan Allah dengan manusia.
Dalam Perjanjian Baru ketuhanan Yesus, dapat dilihat melalui:[5]
a.       Pernyataan orang (Mat. 15:22, Luk. 2:11, 6:5, Kis. 10:36, Fil. 2:11, 1 Kor. 2:8).
b.      Yesus sebagai Tuhan karena Ia adalah Pencipta (Yoh. 1:1-3, Ibr. 1:2, Kol. 1:16).
c.       Pemelihara (Ibr. 1:3, Yoh. 17:11, 12, I Pet. 1:5).
d.      Penyelamat (Rom. 3:24-25, I Kor. 6:19-20, Ef. 1:7).

KEUNIKAN YESUS SEBAGAI TUHAN
            Sebelumnya telah dibahas tentang pengertian keunikan Yesus Kristus ialah kekhususan serta keunggulan Yesus Kristus khususnya dalam hal Dia sebagai Tuhan. Hal itu dapat dipahami dalam kitab-kitab Perjanjian Baru, bagaimana Yesus sendiri menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan melalui tindakan-Nya. Yang di serta dengan pengakuan murid dan orang percaya pada masa itu akan keilahian-Nya. Yesus sebagai Tuhan berarti memberi bukti-bukti akan kemahakuasaan Yesus selama berada di dunia ini, berdasarkan laporan dari Alkitab khususnya dalam Perjanjian Baru.
            Walaupun ada laporan yang memadai tentang keilahian Yesus dari Alkitab namun masih ada saja kelompok yang mau menyangkal akan ke Tuhan Yesus. Seperti halnya dengan Brown, dengan satu pernyataan bahwa Yesus bukan Tuhan, pernyataan dalam Perjanjian Baru bahwa Yesus adalah Tuhan itu adalah atas dasar perintah dari kaisar Konstanti untuk mengubah isi dari Alkitab itu dan menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Mangapul Sagala juga mengatakan bahwa teori yang demikian tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena  beberapa peneliti menemukan bahwa jauh sebelum dari keberadaan kaisar Konstanti telah dan sudah ditulis kitab-kitab dari Perjanjian Baru dan secara khusus kitab Injil Yohanes yang jelas-jelas mengakui ke-Allah-an Yesus.[6]
            Jika diperhatikan akan keunikan Yesus sebagai Tuhan (ke-Ilahian) maka dapat dilihat dalam beberapa kitab berikut ini:
1.      Tulisan Yohanes
Di dalam Injil Yohanes pandangan akan pribadi Yesus sebagai Tuhan dapat dilihat dalam ayat Yoh. 1:1-3, 14, 18; 2: 24,25; 3:16-18,35,36; 4:14,15; 5:18,20,21,22,25-27; 11:41-44; 20:28;  I Yoh. 1:13; 2:23; 4:14,15; 5:5, 10-13,20.
2.      Surat-surat Paulus
Pernyataan akan keIlahian Yesus juga ditulis dalam surat-surat rasul Paulus, sepert halnya yang terdapat dalam Rom. 1:7; 9:5; I Kor 1:1-3, 2:8; II Kor 5:10; Gal 2:20; 4:4; Flp 2:6; Kol 2:9; I Tim 3:16; Ibr 1:1-3,5-8; 4:14; 5:8.



3.      Injil Sinoptik
Louis Berkhof dalam buku Teologi Sistematika bahwa:
Sessungguhnya telah terbukti bahwa Kristus dalam Injil Sinoptik sama Ilahinya dan sama benarnya dengan Kristus dalam Injil Yohanes. Kristus adalah pribadi supranatural sepenuhnya, anak manusia dan anak Allah. sifat dan karya-Nya membenarkan klaim-Nya itu. Kita harus sungguh-sungguh memperhatikan ayat-ayat berikut: Mat. 5:17; 9:6; 11:1-6,27; 14:33; 16:16-17; 28:18; 25:31; Mrk 8:38, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang sama dan paralelnya.[7]

            Setelah membahas tentang bagaimana Yesus dinyatakan melalui para penulis kitab-kitab dalam Perjanjian Baru sebagai Tuhan. Di dalam kitab-kitab tersebut juga ada beberapa pihak yang takjub (percaya) akan perbuatan Yesus dan mengakui bahwa Ia adalah Tuhan contohnya para murid-murid-Nya, serta orang-orang yang menyaksikan perbuatan-perbuatan Yesus dengan berbagai mujizat yang manusia biasa tidak bisa melakukannya. Menurut Stevry Lumintang dalam bukunya, ada 5 poin yang membuktikan bahwa Yesus sebagai Tuhan yaitu sebagai berikut:[8]
1.      Yesus Kristus sebelum inkarnasinya, (pra-inkarnasi, bukan praeksistensi), Ia adalah Allah karena Ia telah ada (bukan diadakan) serta Ia tidak dibatasi oleh waktu dan ruang (Kej. 1:1; Yoh. 1:1; Ef 3:11; Kol 1:17; Ibr 1:10; Yoh 17:5), Ia adalah kekal (Ibr 13:8; Mzm 90:2; Why 1:28).
2.      Yesus Kristus adalah Allah, karena melakukan pekerjaan Allah, di mana Ia adalah Pencipta (Yoh 1:1-3; Ibr 1:2; Kol 1:16), Pemelihara (Ibr. 1:3; Yoh 17:11,12; I Ptr 1:5), Penyelamat (Rm. 3:24-25; I Kor 6:19-20; Ef 1:7), Ia adalah sumber hidup; Ia mempunyai hidup dari diri-Nya sendiri (Yoh 5:26; Luk 1:4; Yoh 16:6; 11:25) dan segala sesuatu ada di dalam Dia (Kol. 2:2-9; Yoh 10:30,38).
3.      Yesus Kristus adalah setara dengan Bapa, hal ini tampak dalam kenosis (Flp. 2:6), berkat Allah Tritunggal (II Kor. 13:14; Rm 16:20; Ef 1:2, 6:23), Baptisan (Mat. 28:19; Kis 2:28) dan bersama-sama Bapa dan mengenal Bapa (Yoh 10:30;14:1,23, 17:3).
4.      Pernyataan orang (Mat 15:22; Luk 2:11, 6:11, 6:5; Kis 10:36; Fil 2:11; I Kor 2:8), dan Yesus sendiri juga menyadari sepenuhnya bahwa Ia adalah Allah yaitu dengan menggunakan gelar sebagai “Anak Manusia” yang mengahakimi, mengampuni dosa serta ungkapan ego eimi (Akulah) sebagai pernyataan Yesus sendiri akan siapa diri-Nya.
5.      Tindakan Yesus yang menyatakan bahwa Dia sebagai Tuhan yaitu Ia menjadi Korban yang nilainya melampaui semua manusia atau tanpa batas, Ia dapat mananggung murka Allah (hukuman dosa manusia), Ia dapat meneruskan karya-Nya melalui Roh Kudus kepada orang berdosa yang telah ditentukan untuk percaya.
KESIMPULAN
            Berdasarkan penjelasan yang telah dibahas tersebut diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Yesus Kristus merupakan Allah. Dia pencipta, pemelihara, penyelamat, sumber hidup, Ia mempunyai sumber hidup dari diri-Nya sendiri, segala sesuatu ada didalam Dia. Yang memiliki sifat yang tidak dipengaruhi oleh diluar diri-Nya, tidak dibatasi waktu, mampu menanggung dosa umat manusia serta mampu bertindak atas kedaulatan-Nya sendiri yang melampaui kekuatan manusia sebagai ciptaaan-Nya.


[1] Stevry Lumintang, Teologia Abu-Abu (Malang: Gandum Mas, 2004), 524.
[2] Jb. Banawiratman, Kristologi dan Allah Tritunggal (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 33.
[3] Louis Berkhhof, Teologi Sistematika (Surabaya: Momentum, 2013), 29.
[4] Jb. Banawiratman, Kristologi dan Allah Tritunggal (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 34.
[5] Ramly B. Lumintang, Kristologi & Soteriologi (Bandung: STT Bandung, 2015), 17.
[6]Mangapul Sagala, Firman Menjadi Daging (Jakarta: Perkantas, 2009), 58.
[7] Louis Berkhhof, Teologi Sistematika (Surabaya: Momentum, 2013), 34.
[8] Stevry Lumintang, Teologia Abu-Abu (Malang: Gandum Mas, 2004), 532

Rabu, 21 Januari 2015

Tafsiran Roma 2:1-16



PENDAHULUAN
            Surat Roma merupakan kitab yang ditulis oleh rasul Paulus yang di khususkan kepada orang yang percaya kepada Yesus baik itu orang Yahudi maupun juga orang bukan Yahudi (Yunani) yang berada di Roma. Surat Roma mencirikan sebuah uraian teologis yang disusun dengan rapi oleh Paulus sendiri. Jika dipelajari lebih dalam tentang latar belakang surat Roma tidak lain yaitu jemaat mula-mula pada saat itu memiliki penafsiran yang berbeda tentang “dibenarkan”, atau dengan istilah lain diterima oleh Allah dan sikap seperti apa seorang pengikut Yesus untuk biasa dibenarkan tersebut dan berkenan dihadapan Allah. Sehingga, telah memicu permasalah antara orang Yahudi dan bukan Yahudi atau sikap saling menganggap lebih benar di banding yang lain. Situasi demikian membuat Paulus memiliki sebuah sikap yang tegas untuk menjelaskan dan memberi pemahaman terhadap jamaat yang ada di Roma dengan menegaskan bahwa Injil merupakan “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya baik itu orang Yahudi maupun orang Yunani.
            Permasalah yang terjadi di jemaat Roma yang demikian, Paulus dengan sengaja mau menuliskan surat khususnya dalam Roma 2:1-16.  Dengan tujuan agar jemaat di Roma sadar untuk tidak saling menganggap lebih baik dari yang lain karena semua orang telah berdosa dan sama dihadapan Tuhan dan tidak akan memandang siapa pun dia dan dari mana sukunya serta menyadarkan bahwa jika dibenarkan pun itu karena anugerah-Nya. Serta Paulus menekankan bahwa sesungguhnya Tuhan tidak membenarkan orang hanya karena dia telah mendengarkan hukum Taurat melainkan orang-orang yang melakukan hukum tauratlah yang dibenarkan oleh Allah.
Berdasarkan Roma 2:1-16,  telah menimbulkan pertanyaan, apa bedanya orang Yahudi dan orang non Yahudi? Apakah kebebasan dari murka merupakan hal yang bisa diusahakan manusia? Dan apakah orang yang belum menerima hukum Taurat terbebas dari pembelaan penghakiman Allah? Maka melalui paper ini akan memamparkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut agar penulis dan pembaca bisa memahami maksud rasul Paulus menyatakan demikian berdasarkan Roma 2:1-16.


Tafsiran Roma 2:1-16
            Berdasarkan Roma 2:1-16 telah banyak orang memberi pemahaman serta tafsiran atas maksud Paulus menurut surat tersebut kepada jemaat yang di Roma. Dalam hal ini, penulis akan membandingkan dua orang penafsir yang akan di jabarkan berdasarkan pemahaman dan tafsiran mereka masing-masing yaitu sebagai berikut:
William Barclay dalam bukunya, telah merangkum bahwa Paulus membagi dua hal yang perlu diperhatikan dalam perikop ini yaitu:[1]
1.      Orang Yahudi
Orang Yahudi menerima Hukum Taurat (hak istimewa) serta sebuah tanggungjawab yang harus dikerjakan. Seharusnya orang Yahudi karena telah mengatahui kebenaran itu maka mereka berada dalam jalur yang lurus bukan sebaliknya yaitu dengan tidak melakukanya. Oleh sebab itu, maka sangat besar kemungkinan kepada mereka untuk mendapatkan penghakiman dari Allah. Oleh sebab mereka mengetahui kebenaran namun tidak melakukannya.
Kemudian sebagai orang yang belum mengetahui hukum Taurat dan ia juga akan dihakimi oleh Allah sebagai orang yang tidak mengenal hukum Taurat. Dan dalam dua hal yang berbeda inilah Allah menyatakan keadilan-Nya pada masa penghakiman-Nya. Dalam hal ini, pada hakekatnya manusia susah memahami serta mengerti keadilan Allah yang dimaksud tersebut tetapi kita harus sadar bahwa keadilan kita manusia beda dengan keadilan Allah Sang Maha Kuasa itu.
2.      Orang non Yahudi (Orang Yunani)
Paulus melanjutkan kepada orang Yunani bahwa mereka sesungguhnya juga tidak dapat menuntut pembebasan dari penghakiman Allah. Walaupun berdasarkan fakta bahwa ia belum menerima hukum Taurat yang tertulis, namun mereka adalah bagian yang telah diberikan hati nurani oleh Allah karena mereka adalah serupa dan segambar dengan Allah. Sehingga dalam hal ini Allah akan melaksanakan penghakiman-Nya terhadap manusia menurut apa yang manusia sudah ketahui dan berdasarkan kesempatan baginya untuk mengenal kebenaran.
Sedangkan menurut penafsiran Warren W. Wiersbe dalam Roma 2:1-16, ia membagi menjadi 3 pokok utama yaitu:[2]
1.      Orang-orang bukan Yahudi (2:1-3), menjelaskan bahwa:
Sesungguhnya, kebanggaan bangsa Yahudi akan kebangsaan dan agama mereka menyebabkan mereka memandang rendah terhadap “anjing-anjing” dan menjauhi mereka. Paulus menggunakan sikap menghakimi ini untuk membuktikan dosa bangsa Yahudi; karena hal-hal yang mereka hakimi dalam diri orang-orang bukan-Yahudi, mereka sendiri melakukan! Mereka menyangka bahwa mereka luput dari hukuman Allah karena mereka adalah bangsa pilihan Allah. Tetapi Paulus menegaskan bahwa pemilihan Allah atas bangsa Yahudi menyebabkan tanggung jawab mereka bahkan lebih besar. Penghakiman Allah didasarkan atas kebenaran. Allah tidak memakai ukuran yang berbeda untuk menghakimi bangsa Yahudi dan bangsa bukan-Yahudi. Dengan menghakimi orang-orang bukan-Yahudi atas dosa-dosa mereka, orang-orang Yahudi sebenarnya sedang menghakimi diri sendiri.

2.      Berkat Allah (2:4-11) menjelaskan bahwa:
Paulus tidak sedang mengajarkan keselamatan yang dicapai dengan tingkah laku atau perbuatan-perbuatan baik. Ia sedang memberi penjelasan tentang prinsip dasar yang lain tentang penghakiman Allah: Allah menghakimi manusia menurut perbuatan-perbuatannya sama seperti Ia menghakimi manusia menurut kebenaran. Paulus di sini sedang membicarakan perbuatan-perbuatan yang tetap dalam kehidupan seseorang, penekanan total dari watak dan tingkah lakunya. Misalnya: Daud melakukan beberapa dosa yang mengerikan; tetapi penekanan seluruh hidupnya adaalh ketaatan kepada Allah. Yudas mengakui dosanya dan menyediakan uangnya untuk membeli tanah pekuburan untuk orang-orang asing; tetapi penekanan seluruh hidupnya adalah ketidaktaatan dan ketidakpercayaan. Iman yang benar-banar menyelamatkan membuahkan ketaatan dan kehidupan yang saleh meskipun kadang-kadang mungkin jatuh ke dalam dosa. Ketika Allah menilai perbuatan-perbuatan bangsa Yahudi, Ia mendapatkan bahwa perbuatan-perbuatan mereka sejahat perbuatan-perbuatan bangsa bukan-Yahudi. Kenyataan bahwa bangsa Yahudi merayakan upacara-upacara tertentu atau bahkan menghormati hari sabat secara teratur tidak mengubah kenyataan bahwa kehidupan sehari-hari mereka secara keseluruhan merupakan ketidaktaatan kepada Allah. Berkat-berkat Allah tidak menuntun mereka kepada pertobatan.
3.      Hukum Allah (2:4-11) menjelaskan bahwa:
Pernyataan Allah dalam ayat 11, “sebab Allah tidak memandang bulu” akan mengejutkan orang Yahudi karena mereka merasa patut menerima perlakuan khusus sebagai umat pilihan Allah. Tetapi Paulus menjelaskan bahwa hukum Yahudi hanya memperbesar dosa bangsa Israel! Allah tidak meberikan hukum Taurat kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, karenanya mereka tidak akan dihakimi oleh hukum Taurat. Sebenarnya, “isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka.
            Berdasarkan pemahaman kedua orang tersebut diatas, maka penulis menjabarkan ada dua pokok penting yang di bahas dalam Roma 2:1-16, yang di jelaskan berikut ini.
Kehidupan Orang Yahudi
            Pada awal perikop ini terdapat Kata “menghakimi” disini berasal dari kata Yunani yaitu “κρίνεις” artinya menyalahkan, menilai, atau mengadili. Di ayat pertama, Paulus seakan-akan sedang berdebat dengan orang-orang yang memiliki anggapan bahwa mereka paling benar dan tidak akan di hukum oleh Allah (tidak lain yaitu orang Yahudi yang berada di Roma) sehingga berani menjatuhkan hukuman/menghakimi golongan tertentu yang dianggap najis menurut pemahaman mereka sendiri (Roma 1:18-32). Paulus dengan tegasnya mengatakan bahwa ketika engkau menghakimi orang lain, maka secara tidak langsung juga engkau telah menghakimi dirimu sendiri.  Mengapa demikian? Karena yang menghakimi itu pun tak luput dari dosa atau dengan kata lain sama-sama melakukan dosa di hadapan Tuhan. Hal itulah yang tersembunyi dimata orang Yahudi dan bahkan dibutakan oleh sebab kesalah pahaman terhadap Taurat yang mereka miliki. Menurut Warren W, seharusnya orang Yahudi menyadari bahwa pemilihan Allah atas mereka membuat mereka tahu akan tanggung jawab bahkan tanggung jawab yang lebih besar pula terhadap Allah.[3]
Selanjutnya (ayat 2) Paulus dengan sebuah kepastian meyakinkan bahwa hukuman Allah akan di lakukan dengan jujur terhadap orang-orang yang menghakimi orang lain. Hukuman Allah artinya hukuman terakhir, yang akan terjadi pada akhir zaman. Pada saat itu Allah akan senantiasa menjatuhkan hukuman “menurut kebenaran”. Penghukuman yang pasti itu orang Yahudi sangat mengerti dan memahami namun mereka beranggapan bahwa hal itu tidak berlaku bagi mereka. Sehigga mereka berprinsip bahwa posisi mereka lebih istimewa di bandingkan dengan orang lain. Oleh sebab itu, Paulus ingin menegaskan bahwa hukum itu berlaku juga kepada orang Yahudi bahkan kepada semua orang tanpa pandang bulu. Serta Paulus menyadarkan mereka bahwa sesungguhnya mereka juga adalah orang berdosa yang tidak layak menghakimi golongan tertentu. Lebih jauh Paulus menekankan bahwa Allah tidak menghakimi berdasarkan keturunan dan bangsanya melainkan sesuai dengan cara hidupnya,[4]  sebagaimana perpektif orang Yahudi.
            Pola pengajaran orang Yahudi yang selalu menganggap mereka adalah umat yang di istimewakan (di pilih) Allah membuat mereka memiliki sikap yang sombong dengan pengakuan diri paling benar dan kudus dihadapan Allah. Sehingga mereka menganggap rendah terhadap “anjing-anjing kafir” serta menjauhi mereka. Pemahaman yang demikian dibuktikan salah satu contoh dalam bukunya William Barclay menuliskan kata-kata dari salah seorang Yahudi saat dipertanyakan bagaimana kedudukan mereka dalam Dialogue with Trypho, orang Yahudi berkata, “mereka yang adalah benih Abraham secara jasmani, bagaimanapun juga, meskipun mereka berdosa dan tidak percaya dan tidak taat kepada Allah, akan mendapat bagian dalam kerajaan kekal.”[5] Sikap orang Yahudi yang selalu menghakimi kelompok lain dan menganggap mereka paling istimewa tersebut dapat dilihat sebagaimana mereka menjauhkan diri terhadap orang Samaria karena menganggap najis dan mereka umat yang kudus, oleh sebab itu mereka sama sekali tidak mau berbaur bahkan lewat ditanah orang Samaria agar kenajisan orang samaria tidak akan menajiskan kekudusan mereka (Yoh. 4:9).
Faktor utama mereka memiliki sikap ini karena mereka telah menerima Taurat Tuhan dan sungguh-sungguh berupaya menaati perintah-perintah dan larangan yang tercantum di dalamnya. Berkat hukum Taurat, demikian keyakinan mereka, mereka sanggup melepaskan diri dari lingkaran satan kekafiran baik dosa yang mendatangkan hukuman, dan hukuman yang mendatangkan dosa.[6]  Hal itu terjadi bukan karena kebaikan mereka yang membebas dari hukuman tetapi karena mereka adalah keturunan Yahudi. Inilah motivasi dan penafsiran yang salah orang Yahudi. Oleh sebab itu Paulus ingin mencerahkan pemahaman yang demikian melalui perikop ini bahwa yang penting untuk diketahui bahwa bukan hanya sekedar memiliki hukum Taurat, melainkan melakukan hukum Taurat.
Ayat 1 dan 3 Paulus memakai kata “Manusia” beberapa penafsir dan mengartikan bahwa hal itu berlaku secara umum kepada orang-orang Yahudi juga termasuk orang Yahudi Kristen. Menunjukkan bahwa semua sama tidak ada perbedaan. Dan hal ini jelas sangat bertolak belakang sebagaimana orang Yahudi memahaminya (penjelasan sebelumnya). Di sini Paulus secara langsung menegor dan sekaligus mempertanyakan kembali kepada mereka dengan mengatakan, “Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?. Kata Paulus ini ingin menekankan bahwa sekali lagi bahwa kamu juga tidak lebih baik dan orang-orang yang engkau hakimi tersebut. Atau dengan kata lain jika di perhalus, bahwa orang Yahudi tidaklah lebih baik terhadap orang Samaria, sama sekali tidak.
Pola pemahaman yang salah orang Yahudi itu, Paulus memberi sebuah tantangan dengan mengatakan secara berterus terang kepada mereka “Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?” (ay. 4). Kata-kata Paulus  telah mencirikan jati diri serta sifat Allah itu sendiri sebagaimana di yakini dinyatakan kepada Paulus oleh Roh Kudus. Jati diri Allah tersebut terdapat tiga hal khususnya dalam (ay. 4) dalam perikop ini, yaitu:
1.      Kemurahan (chrestotes) artinya kemurahan hati. Hal demikian terbukti sebagaimana Yesus memperlihatkan dengan lemah lembut dan kasih kepada wanita berdosa yang meminyaki kakinya dan wanita yang kedapatan berzinah. Dari kata ini, Paulus menegaskan bahwa “kamu orang-orang Yahudi berusaha mencari keuntungan dari kemurahan Allah.” Ini suatu sikap yang tidak baik dan benar dihadapan Tuhan.
2.      Kesabaran (anoche) yang dapat diartikan suatu sikap memilih berhenti melakukan suatu yang bertentangan dengan-Nya dengan bersifat sementara. Paulus memakai kata “Anoche” ini seakan-akan Paulus ingin menegaskan bahwa “jangan kamu beranggapan orang-orang Yahudi bahwa kita selamat karena penghukuman Allah belum menimpa atas kita” hal itu bukan suatu jaminan yang melainkan Allah hanya memberi kesempatan untuk bertobat dan mengubah jalan pikiranmu.
3.      Kalapangan hati (makrothumia). Makrothumia adalah suatu kata yang menyatakan, kesabaran terhadap sesama manusia. Salah seorang tokoh merumuskan hal itu sebagai sifat manusia yang mempunyai kuasa untuk membalas dendam tetapi tidak pernah menggunakan kuasanya itu.
Seterusnya, Paulus ingin melanjutkan terhadap orang Yahudi, bahwa sesungguhnya ketika Engkau telah menerima pengampunan dosa itu dari Allah maka seharusnya kamu sekalian berubah menjadi orang yang senantiasa mau di ubahkan dan bertobat dari kesalahan dan dosa-dosa bukan malah sebaliknya. Salah seorang yang bernama Heine mengatakan bahwa: “pengampunan Allah terhadap umat berdosa itu merupakan suatu pikiran Allah yang tidak bisa telusuri.” Sesuai dengan pandangan Heini itu, maka manusia seharusnya ketika menerima pengampunan pada dosa bukanlah ia semakin semena-mena mau berbuat salah karena di beri ampun dari sang Bapa, melainkan pengampunan itu di jadikan suatu kesempatan untuk mau berubah menjadi lebih baik. Hal inilah yang di kehendaki Allah terhadap orang Yahudi dan seluruh manusia.[7]
Ayat 5 menjelaskan lebih jauh bahwa ketika orang Yahudi mengeraskan hati untuk tidak mau bertobat pada kesempatan yang sudah Allah berikan maka sesungguhnya kamu sekalian sedang menimbun muka Allah atas kamu. Dalam buku tafsiran masa kini, di andaikan sebagai seorang yang sedang menabung murka dari Allah dengan bunga tabungan yang bertumpuk-tumpuk dan tabungan itu akan dibuka pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan.[8] Di ayat 6 di lanjutkan bahwa ke adilan Allah itu akan di terima oleh setiap orang sesuai dengan perbuatannya salama ia ada di dunia ini. Waktu dan penggenapan ini hanya di ketahui oleh Allah sendiri dan manusia pun tak mengetahunya.
Di ayat 7-10, Paulus memberi bayangan konsekuensi yang akan di terima setiap orang pada waktu penghakiman Allah itu. Paulus disini memberi dua pilihan beserta konsekuensi yang mau tidak mau pasti akan di genapi di dalam Tuhan.
1.      Bagi orang yang tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan mendapatkan kehidupan yang kekal. Hal ini Paulus lagi-lagi menekankan bahwa kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera tersebut berlaku kepada semua orang baik orang Yahudi maupun orang non Yahudi (ayat 7, 10).
2.      Tetapi bagi yang mencari kepentingan diri sendiri, tidak taat pada kebenaran, serta berbuat jahat mereka juga akan mendapatkan murka dan geram yang menghasilkan penderitaan dan kesesakan. Hal ini juga berlaku pada orang Yahudi maupun non Yahudi.
Sebagai sebuah penutup dari semua itu menurut Rasul Paulus di ayat 11 mengatakan “Sebab Allah Tidak memandang bulu” atau dengan kata lain Paulus mengatakan bahwa pada saat itu keadilan dan penghukuman Allah terbukti yang tanpa pengecualiaan. Berdasarkan uraian di atas, maka banyak orang terjebak bahwa sesungguhnya kesempurnaan dan keselamatan merupakan hal yang bisa di usahakan oleh setiap manusia. Hal seperti ini tidak sedikit orang menafsirkannya dan resiko lebih jauh mereka mengorbankan ketidak ada artinya pengorbanan Yesus di kayu salib.
Penafsiran seperti ini salah karena mereka sedang memisahkan antara iman dan perbuatan. Namun sesungguhnya iman dan perbuatan merupaka dua hal yang tidak dapat dipisahkan.  Kalimat “Allah akan membalas setiap orang menurut perbuatannya,” maksud Paulus disini bahwa sesungguhnya orang yang telah mengaku mempunyai iman maka sesungguhnya akan tercermin di dalam perbuatannya dan sebaliknya orang yang mengaku beriman namun tidak menghasilkan dan tercermin dalam perbuatan maka itu sebenarnya bukan iman melainkan iman yang mengada-ngada (iman palsu). Dalam hal ini, Paulus berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk melihat iman seseorang ialah melalui perbuatan.[9]


Hukum Ada Kepada Semua
Ayat 12-16, seakan-akan setelah Paulus berbicara terhadap orang Yahudi maka sekarang Paulus mau beralih pembicaraannya kepada orang yang belum menerima hukum secara tertulis yaitu orang Yunani. Dengan sebuah pendapat Paulus yang menarik disini bahwa walaupun kamu (orang non Yahudi) juga belum menerima hukum tertulis namun sesungguhnya hukum itu ada didalam hati nuranimu (hukum kodrati). Pada hakekatnya semua orang adalah gambar dan rupa Allah. Sebagaimana gambar dan rupa Allah maka dia memiliki hati nurani tersebut. Dan hal itu terbukti bahwa manusia itu dalam batinnya terdapat hukum kodrati. Untuk dapat kita buktikan secara sederhana yaitu pada umumnya manusia pasti mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Sikap mempertimbangkan demikian di dalam Alkitab “hati nurani.”
 Dengan  Oleh sebab itu, Paulus sepertinya menjawab orang non Yahudi bahwa kamu semua tidak ada alasan untuk menghindar juga dari penghukuman. Ada sebuah konsekuensi yang nyata bahwa jika kamu melanggar dan tidak melakukan hukum yang ada di dalam hatimu itu maka kamu semua mendapatkan penghukuman Allah. Berdasarkan pemahaman seperti ini juga, sepertinya beberapa penafsir memberi pemahaman yang sama seperti demikian bahwa sepertinya Paulus membuat suatu teguran dan nasehat yang seimbang antara dua kelompok yang saling bertentangan.
Kesimpulan
            Dalam surat Paulus Roma 2:1-16 suatu keprihatinan Paulus melihat keadaan jemaat Di Roma khususnya orang Yahudi yang memiliki pemahaman yang salah akan kebenaran. Selain dari pada itu, Paulus menekankan dan menegaskan bahwa pemilihan Allah atas bangsa Yahudi menyebabkan tanggung jawab mereka bahkan lebih besar. Penghakiman Allah di dasarkan atas kebenaran. Allah tidak memakai ukuran yang berbeda untuk menghakimi bangsa Yahudi dan bangsa bukan-Yahudi. Serta Paulus ingin menegaskan bahwa seharusnya Iman yang benar-banar menyelamatkan akan membuahkan ketaatan dan kehidupan yang saleh serta mempunyai kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama manusia. Kemudian Paulus menekankan bahwa sebenarnya semua orang memiliki hukum Taurat sebagai wahyu umum jadi sebenarnya manusia memiliki kesamaan di hadapan Tuhan untuk Dia adili melalui perbuatannya masing-masing.


[1]William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 72.
[2] Warren W. Wiersbe, Benar Di Dalam Kristus (Bandung: Kalam Hidup, 1977), 25.
[3] Warren W. Wiersbe, Benar Di Dalam Kristus (Bandung: Kalam Hidup, 1977), 25.
[4] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 66.
[5] Ibid., 66.
[6] Th Van Den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 85.
[7] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 69.
[8] A. Simanjuntak, Tafsiran Masa kini Matius-Wahyu (Jakarta: Terj. Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1983), 417.
[9] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 71.